PASRAH, MAWAS DIRI dan HAWA NAFSU

Oleh : K a r y a n

Sudah menjadi kehendak alam agaknya, bahwa manusia hidupnya dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan perbuatan. Jadi, setiap perbuatan adalah pelaksanaan dari kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya seringkali dipermainkan oleh nafsu. Sebenarnya, nafsu inilah yang menjadi pokok pangkal segala peristiwa. Karena nafsulah yang mendorong segala sesuatu dapat hidup dan berputar. Nafsu tadi, besar kecilnya tentu saja tergantung kepada ke-aku-an yang ada pada setiap diri manusia. Manusia yang terlalu memikirkan diri sendiri, dia bisa dibilang seorang hamba nafsu dan seringkali melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran.

Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Oleh karenanya, nafsu tidak boleh dibunuh! Nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala, sehingga dapat berputar dan berjalan, sebagaimana mustinya, menurut hukum alam. Tanpa nafsu dunia ini akan sunyi dan sepi. Karena itu, akan keliru dan salah besar bila ada orang yang berusaha mencari kesempurnaan diri dengan jalan membunuh nafsu, yakni nafsunya sendiri. Sebenarnya, kesempurnaan diri akan terwujud bila orang sanggup dan mampu mengendalikan nafsunya sendiri.
Kalau saja boleh diibaratkan, tubuh manusia adalah sebuah kereta yang lengkap, maka nafsunya adalah ‘kuda’, yakni kuda yang dipasang di depan kereta. Si Kereta tidak akan begerak maju sendiri tanpa adanya tarikan dari kuda nafsu tadi. Dan karena kuda itu mempunyai nafsu yang binal, maka Si kereta hanya menuruti setiap gerak langkah dari kuda nafsu itu. Kalau ‘kuda nafsu’ tadi bergerak dan melangkah ke arah jalan yang benar dan lurus, maka Si kereta akan selamat. Sebaliknya, bila ‘kuda nafsu’ bergerak dan melangkah ke arah jalan yang keliru, akan hancurlah Si kereta. Sebenarnya, begitu pula yang akan terjadi pada diri manusia, seperti kuda binal dan kereta..

Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata kita, tidak lain hanyalah kesenangan. Dan segala bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu yang seringkali membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas, tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak. Dan selalu meraih, serta menjangkau apa saja yang belum pernah dicengkeramnya. Oleh karena itu, kita cenderung mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, maka akan pudarlah keindahannya, sehingga kita tidak mampu lagi menikmatinya. Itulah sebabnya, mengapa ‘orang kota’ dapat menikmati alam pegunungan dan ‘orang desa’ sebaliknya. ‘Orang kota’ akan merasa bosan dengan keadaan di kota yang penuh kebisingan dan kemacetan. Demikian pula dengan ‘orang desa’ akan merasa bosan dengan keadaan di dusun yang sepi.

Baik orang kota maupun orang desa selalu mengejar apa yang belum pernah mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat nafsu daya rendah dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang dikejar, akan timbul perasaan kecewa dan selanjutnya duka menindih batin kita. Dan kalaupun tercapai apa yang dikejar, hanya sebentar saja nikmatnya, yang pada gilirannya timbul perasaan bosan atau kecewa, karena yang dicapai itu tidaklah seindah dengan apa yang dibayangkan semula.
Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. “Sepiring masakan termahal akan terasa hambar di mulut kalau batin kita sedang keruh,” kata orang bijak. Sebaliknya, “Sebungkus nasi dengan kecap dan garam akan terasa nikmat di mulut kalau batin kita jernih.” Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat bila batin kita dalam keadaan jernih dan batin yang jernih adalah suatu keadaan bukan hasil buatan pikiran.

Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan. Kita hanya dapat berihtiar/berusaha dengan landasan sikap menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakkalan kepada Tuhan YME. Kalau sudah begitu, apapun yang terjadi pada diri kita, niscaya bisa kita terima dengan rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah menjadi Kehendak-Nya. Sehingga kita tidak mabuk oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan dan tidak mengeluh dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Penyerahan total kepada Tuhan YME akan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan, sehingga kita dapat melihat bahwa di dalam segala bentuk peristiwa di dunia ini terkandung kekuasaan Tuhan.
Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Tetapi kita rupanya sudah terlanjur hidup dalam suatu masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari lahiriahnya saja, misalnya dari pakaian, pangkat, kedudukan, predikat dan harta.
Bahkan Sikap dan kata-kata hanyalah merupakan pakaian belaka. Dan semua itu pemulasan lahir dan menjadi ‘topeng yang palsu’.
Namun kita sudah terlanjur suka akan yang palsu, kita menghormati seseorang lebih karena harta, pangkat, kedudukan, predikat dan pakaian. Padahal, seorang penceramah agama belum tentu dia saleh, seorang pembesar belum tentu dia bijak, seorang hartawan belum tentu dia dermawan, bahkan seorang yang ‘bermulut manis’ pun belum tentu dia baik hati!.
Kita silau akan kulit luarnya, sehingga tak mampu lagi melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu dan penilaian kita pun didasari oleh keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin, itulah yang baik dan yang merugikan kita lahir batin itulah yang buruk! Kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pangkat, jabatan, kedudukan, predikat, harta, dan semua penampakan atau penampilan luar, maka kita pun berlomba lomba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan kedudukan, jabatan, harta dan sebagainya. Karena dari semua itulah kita akan mendapatkan penghargaan dan penghormatan. Kita lupa, bahwa penghargaan dan penghormatan itu palsu belaka. Kita juga lupa, bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, kedudukan kita, jabatan kita.
Yang pada akhirnya kita semua makin hari makin lelap dalam kemunafikan.

Kita seyogjanya bertanya kepada diri sendiri: apakah kita termasuk dalam kelompok munafik? Atau bila kita sadar dari ‘kelelapan kemunafikan’, terus menjadi penganut peradaban yang tidak beradab dan kemoralan yang tidak bermoral?
Pertanyaan selanjutnya, kalu kita sudah menyadari keadaan buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini?. Dan hidup baru sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan yang berakal pikir, berakhlaq, bersusila, berbudi, bermoral dan berbakti kepada Sang Pencipta? Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul bila kita mau dan berani untuk mawas diri dan bercermin, bukan hanya sekedar mematut-matut diri, memperlok diri, melainkan bercermin, menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat segala kekotoran yang selama ini melekat pada batin kita….!
Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran, dan kesadaran ini akan mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan. Pikiran tidak mungkin membersihkan kotoran ini, karena pikiran kita sudah bergelimang kotoran atau nafsu, sehingga apa pun yang dilakukan tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri lahir maupun batin.

Kerendahan diri akan membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan YME. Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah sebulatnya. Menyerah dengan kerendahan diri dan dengan perasaan takut dihadapan-Nya sebagaimana tertulis dalam QS.Al – A’raaf 205. Sehingga dalam penyerahan tadi, pikiran tidak ikut campur di dalamnya dan karenanya penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh dengan kerinduan dan cinta kasih kepada-Nya yang telah menyayangi dan mengasihi kita tanpa batas. Dari sini pula, akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi.

By Kariyan Santri Gundhul Dikirimkan di RENUNGAN

6 comments on “PASRAH, MAWAS DIRI dan HAWA NAFSU

  1. Aku sadar seringkali nafsu kuperturutkan Mas.
    Tapi ketika sedang berlangsung susah sekali untuk mencerna bahwa itu adalah hanya nafsu yang bicara. COntoh sepele adalah emosi jiwa alias marah. Orang yang bijak bilang marah itu adalah bukti ketidakmampuan kita untuk melawan ego, tapi kadang kendalinya suka telat, jadi pasang muka semek dan asem duluan baru beberapa waktu tersadarkan bahwa betapa jeleknya itu wajah kalo sedang emosi…hicksss
    ahhh..Semoga yang Maha Kuasa akan memberikan ampunanNya untukku..

  2. Bu…saat KESADARAN itu SEMBURAT dan MUNCRAT menyadari akan keteledhoran yg barusan kita lakukan, maka pada saat itulah KUASA TUHAN berbicara. Dan pada saat itu pula sang KUSIR telah MAMPU kembali mengendalikan dan menguasai gerak Kuda-kuda BINAL ( nafsu, ego ). Permasalah TELAT dalam pengendalian itu hal yang lumrah saja sebagai bentuk PEMBELAJARAN untuk mencapai tahapan yg lebih BAIK hingga tercapainya KESADARAN SEJATI.

    KESADARAN SEJATI hanya akan kita dapatkan jika kita telah mampu menahan RIAK GELOMBANG Kehidupan dan Penghidupan. Dan itu selalu diawali dengan proses Kesandhung~Kesampar, Jatuh~Bangun, Kebentur~Kepenthung…he..he…seperti ketika kita masih kecil belajar berdiri dan lalu berjalan….Jatuh dan bangun lalu ada RASA sakit. Dari RASA sakit itulah memacu kita untuk selalu berhati2 supaya tidak JATUH kembali…

  3. saya juga sama, terkadang melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan akhirnya…, tapi untuk saat ini saya mulai belajar bersikap mawas diri.., bersikap bahwa sebenarnya yang saya lakukan selama ini memang salah, dan saya harus belajar dari kesalahan ini.., eh tolong dong kasih tau tips menghadapi bos yang suka marah marah//…., tanpa tahu apa penyebab masalahnya dia mencari kambing hitam.., padahal saya nda begitu salah, tapi dia selalu membesar besarkan masalah yang menurut saya nda begitu penting…, dia mencari kesalahan saya untuk meluapkan emosinya.., seringkali saya merasa muak menghadapinya…,

  4. basa basi bikin lelah jiwa..lelah hati..
    hidup telah membawa sifat ‘membosankan…
    bersikap natural..alami..wajar…mungkin lebih mengena di hati…
    namun kita berada di tengah2 dunia dg macam2 visi@misi..ibarat berkelana..dunia adl rimba raya…
    tiada jaminan keamanan@kenyamanan kecuali ‘bersandar..seleh..sumeleh… hanya pdNYA…tp namanya juga manusia…sdh nyata2 gak berdaya..tp tuk ‘bersandar…ogah jg..gengsi atau g ngerti..pada ‘bagindanya..’seperti saya..suka jumawa…ahh..entahlah..g berani byk bicara..ntar keliru..malah jd rancu..salam……

Tinggalkan Balasan ke bens Batalkan balasan